Mahkamah Konstitusi telah memutus sebagian dari permohonan para pemohon atas Pasal 10 Undang-undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Pada intinya, putusan MK tersebut memiliki implikasi hukum sebagai berikut: Pertama, Tidak semua perjanjian internasional yang dibuat oleh Presiden mempersyaratkan adanya persetujuan DPR, melainkan hanya perjanjian internasional yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945; Kedua, Perihal dalam hal apa atau dalam keadaan bagaimana suatu materi perjanjian internasional menimbulkan akibat yang luas dan mendasar yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang, hal itu tidak dapat ditentukan secara limitative melainkan harus dinilai secara kasuistis
Latar Belakang
Pada tanggal Pada tanggal 22 November 2018 Mahkamah Konstitusi memutuskan permohonan Nomor 13/ PUU-XVI/2018. Putusan ini dikeluarkan atas gugatan Permohonan Uji Materil yang dimohonkan oleh Tim Advokasi Keadilan Ekonomi pada 14 Februari 2018 terhadap Undang-undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Tim advokasi terdiri dari organisasi Indonesian Human Rights Committtee For Social Justice (IHCS), Indonesia Global Justice (IGJ), Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Serikat Petani Indonesia (SPI), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sawit Watch, Aliansi Petani Indonesia (API), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Farmers Inititiatives For Ecological Livehood and Democracy (FIELD), Perkumpulan Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan Solidaritas Perempuan.
Adapun yang menjadi menjadi dasar permohonan uji materi (constitutional review) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional terhadap Undang-Undang Dasar 1945 ke Mahkamah Konstitusi karena adanya kerugian konstitusional yang dirasakan oleh Para Pemohon yaitu:
- Bahwa banyak perjanjian internasional yang merugikan rakyat, dan diratifikasi tanpa melibatkan masyarakat dalam setiap proses pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional tersebut.
- Bahwa ada perjanjian internasional yang membawa akibat luas dan fundamental serta tidak terbatas pada aspek-aspek yang bersifat prosedural telah diratifikasi tanpa adanya persetujuan DPR RI, selaku representasi suara rakyat. Misalnya, Perjanjian perdagangan dan investasi (perlindungan penanaman modal) internasional dapat menimbulkan konsekuensi keuangan negara dan membawa keharusan mengubah undang-undang, sehingga perjanjian dengan karakteristik seperti ini perlu mendapat pengesahan DPR sebelum pemerintah menyatakan keterikatannya.
- Kesalahan dalam mengkualifikasikan perjanjian internasional tentunya akan berdampak terhadap hilangnya kontrol rakyat yang direpresentasikan oleh DPR untuk secara hati-hati mengikatkan Indonesia kepada perjanjian internasional yang akan membawa dampak secara langsung terhadap kedaulatan negara.
- Bahwa, Perjanjian Internasional akan melanggengkan ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemodal (capital violence) yang dilindungi oleh Undang-Undang (judicial violence) yang merupakan produk dari komitmen kepatuhan terhadap perjanjian Internasional dan bukan kepatuhan terhadap Konstitusi;
- Bahwa perjanjian internasional, khususnya perjanjian perdagangan bebas, telah menimbulkan kerugian rakyat, khususnya nelayan dan petani, dalam bidang ekonomi dan hak dasarnya untuk memperoleh penghidupan yang layak.
Adapun pasal dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional yang diuji oleh Tim Advokasi Keadilan Ekonomi terhadap Undang-Undang Dasar 1945 adalah:
- Pasal 2 Undang–Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena telah mengganti frasa “dengan persetujuan DPR” dengan frasa “berkonsultasi dengan DPR dalam hal menyangkut kepentingan publik”.
- Pasal 9 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional sepanjang frasa “dilakukan dengan undang- undang atau keputusan presiden” bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak diartikan “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan Negara hanya terbatas pada : a) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c) kedaulatan atau hak berdaulat negara; d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e) pembentukan kaidah hukum baru; f) pinjaman dan/atau hibah luar negeri.”
- Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional beserta penjelasan Pasal 11 Ayat (2) Undang- Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam rangka mendorong adanya pelaksanaan putusan MK secara efektik, Tim Advokasi Keadilan Ekonomi melakukan proses analisis dan eksaminasi publik dengan para pakar hukum terhadap putusan No. 13/PUU-XVI/2018. Hal ini bertujuan untuk menyusun langkah advokasi kebijakan kepada DPR RI dan Pemerintah guna menjalankan putusan MK secara konsisten dalam segala pengambilan keputusan terhadap perjanjian internasional yang akan diikatkan oleh Indonesia. Hasil analisis tersebut dapat dilihat dalam penjelasan berikut:
Putusan MK Atas Undang-undang Perjanjian Internasional
Mahkamah Konstitusi telah memutus sebagian dari permohonan para pemohon atas Pasal 10 Undang-undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Adapun amar putusannya adalah sebagai berikut:
- Menyatakan permohonan Pemohon III, Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon VII, Pemohon VIII, dan Pemohon IX Tidak dapat diterima;
- Mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon IV, Pemohon X, Pemohon XI, Pemohon XII, Pemohon XIII, dan Pemohon XIV untuk sebagian;
- Menyatakan pasal 10 Undang-undang No.24 tahun 2000 bertentangan dengan Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ditafsirkan bahwa hanya jenis-jenis perjanjian internasional sebagaimana disebutkan pada huruf a sampai dengan huruf f dalam pasal a quo itulah yang mempersyaratkan persetujuan DPR sehingga hanya jenis-jenis perjanjian tersebut yang pengesahannya dilakukan dengan undang-undang”.
- Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya
Dalam pertimbangannya, MK berpendapat bahwa:
- Tidak semua perjanjian internasional yang dibuat oleh Presiden mempersyaratkan adanya persetujuan DPR, melainkan hanya perjanjian internasional yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, yaitu perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang.
- Perihal dalam hal apa atau dalam keadaan bagaimana suatu materi perjanjian internasional menimbulkan akibat yang luas dan mendasar yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang- undang, hal itu tidak dapat ditentukan secara limitative melainkan harus dinilai secara kasuistis berdasarkan pertimbangan dan perkembangan kebutuhan hukum secara nasional maupun internasional.
Selama ini, Pasal 10 UU 24/2000 tentang Perjanjian Internasional menentukan secara terbatas mengenai perjanjian internasional yang harus disahkan dengan undang-undang (baca: Persetujuan DPR), yakni hanya terkait dengan: (1) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; (2) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; (3) kedaulatan atau hak berdaulat negara; (4) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; (5) pembentukan kaidah hukum baru; (6) pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Sebaliknya, perjanjian internasional menyangkut kerjasama di bidang ekonomi ilmu pengetahuan, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, penghindaran pajak berganda, dan kerja sama perlindungan penanaman modal merupakan perjanjian internasional yang juga berpotensi menimbulkan dampak yang luas bagi masyarakat dan menimbulkan beban keuangan Negara. Akan tetapi perjanjian internasional tersebut diatas seringkali disahkan tanpa persetujuan DPR RI.
Salah satu fakta hukum yang terjadi adalah perkembangan perjanjian perdagangan dan investasi internasional di era abad 21. Perjanjian tersebut saat ini sudah melampaui dari praktek tradisional yang hanya mengatur kegiatan ekspor dan impor saja. Rezim perjanjian perdagangan bebas telah berkembang sedemikan rupa dan mencakup aspek-aspek perlindungan investasi, hak atas kekayaan intelektual, peran Badan Usaha Milik Negara dan persaingan usaha, mekanisme penyelesaian sengketa, dan lain-lain. Bahkan, Bilateral Investment Treaty (BIT) telah berdampak terhadap hilangnya kedaulatan negara dan kerugian keuangan negara akibat biaya arbitrase yang mahal.
Beberapa contoh perjanjian yang berdampak luas dan hanya disahkan dengan Keppres, seperti:
ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) yang diratifikasi dengan Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2010; ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA) yang diratifikasi dengan Peraturan Presiden No. 49 Tahun 2011; ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS), dan Bilateral Investment Treaty (BIT).
Norma Baru Atas Perjanjian Internasional & Implikasi Hukumnya
Dalam Putusan No.13/PUU-XVI/2018 terdapat beberapa pendapat Mahkamah Konstitusi yang dapat dijadikan landasan hukum dalam pembentukan norma baru di Indonesia, termasuk landasan hukum dalam menjalankan putusan MK secara konsisten terkait prinsip-prinsip keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian internasional sebagai pengejawantahan kedaulatan nasional dan kedaulatan rakyat.
- Tentang tujuan keikutsertaan dalam perjanjian internasional, yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Oleh karenanya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa, secara a contrario pemerintah Indonesia wajib menentang (setidak-tidaknya tidak boleh ikut serta) dalam upaya-upaya yang mengatasnamakan ketertiban dunia namun bertentangan dengan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Implikasi Hukumnya:
- Hal ini berarti semua perjanjian internasional yang bertentangan dengan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial rakyat Indonesia dapat dikualifikasikan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, perjanjian internasional dan undang-undang tersebut adalah batal demi hukum karena bertentangan dengan konstitusi Negara Republik Indonesia.
- Bahwa dalam praktek sebelumnya ada potensi dimana perjanjian-perjanjian internasional yang disahkan tanpa persetujuan DPR RI dapat menimbulkan dampak luas bagi kehidupan rakyat, yang kemudian dapat mencederai keadilan sosial. Untuk itu, tim advoksi mendorong agar dilakukan proses peninjauan ulang (review) terhadap seluruh perjanjian internasional, khususnya terhadap perjanjian perdagangan, investasi, dan utang luar negeri, untuk memenuhi unsur keadilan sosial dan selaras dengan amanat Konstitusi.
- Tentang makna frasa “berkonsultasi dengan dewan perwakilan rakyat”. Walaupun dalam putusannya Mahkamah menolak permohonan para pemohon terkait Pasal 2 UU aquo, namun, mahkaman telah memberikan penafsiran hukum terhadap makna “konsultasi”.
Mahkamah berpendapat, Mekanisme konsultasi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU 24/2000 sekaligus merupakan mekanisme untuk mengetahui sebuah perjanjian internasional memenuhi kriteria sebagai “perjanjian penting” sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, mekanisme konsultasi tersebut juga sekaligus sebagai proses untuk mempertemukan pandangan antara presiden (pemerintah) dan DPR perihal apakah suatu substansi perjanjian internasional tertentu merupakan perjanjian yang membutuhkan persetujuan DPR atau tidak.
Lebih lanjut, Mahkamah berpendapat bahwa penentuan suatu perjanjian internasional memenuhi persyaratan dalam Pasal 11 ayat UUD 1945 atau tidak dalam sebuah proses konsultasi menjadi sangat penting karena akan sangat menentukan bagi Menteri (in casu menteri yang bertanggung jawab di bidang hubungan luar negeri dan politik luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 UU No.24/2000) dalam merumuskan atau menetapkan posisi pemerintah Indonesia dalam perundingan yang selanjutnya akan dijadikan pedoman delegasi yang mewakili Indonesia dalam perundingan dimaksud, sebagaimana ditentukan dalam pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) UU No.24/2000, yang menyatakan:
- Pemerintah Republik Indonesia dalam mempersiapkan pembuatan perjanjian internasional, terlebih dahulu harus menetapkan posisi Pemerintah Republik Indonesia yang dituangkan dalam suatu pedoman delegasi Republik Indonesia;
- Pedoman delegasi Republik Indonesia yang perlu mendapat persetujuan Menteri, memuat hal-hal sebagai berikut:
- latar belakang permasalahan;
- analisis permasalahan ditinjau dari aspek politis dan yuridis serta aspek lain yang dapat mempengaruhi kepentingan nasional Indonesia;
- posisi Indonesia, saran, dan penyesuaian yang dapat dilakukan untuk mencapai kesepakatan.
Poin penting lainnya yang menjadi pendapat Mahkamah adalah, mendorong pembentuk undang-undang untuk merumuskan mekanisme konsultasi dengan menyelaraskannya dengan kebutuhan dan praktik yang berlaku secara universal sebagaimana diatur dalam kaidah-kaidah hukum internasional.
Implikasi Hukumnya:
- Menurut pendapat hukum dari Dr.Ahmad Redi dalam Eksaminasi publik putusan MK dikatakan bahwa di dalam UU MD3 dan tatip DPR tidak dikenal rezim konsultasi dalam konteks Perjanjian internasional. Namun, dengan adanya open legal policy terkait dengan perumusan baru mekanisme konsultasi antara Pemerintah dan DPR dalam pembuatan sebuah perjanjian internasional, maka hal ini berpeluang untuk membahas lebih dalam terkait mekanisme konsultasi seperti apa yang harus dilakukan oleh DPR RI sehingga dapat terlibat aktif sejak awal proses perundingan perjanjian hingga tahap akhir dalam pembuatan perjanjian internasional. Termasuk merumuskan proses konsultasi yang demokratis dengan melibatkan partisipasi dan transparansi publik. Hal ini sebagai bentuk perwujudan kedaulatan rakyat dalam melakukan kontrol terhadap perjanjian internasional yang dirundingkan, ditandatangani oleh Pemerintah, dan yang akan diadopsi menjadi bagian hukum nasional melalui proses ratifikasi. Proses pembahasan yang demokratis juga dimaksudkan agar perjanjian internasional dapat mewujudkan keadilan sosial dan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia;
- Perlu disusun sebuah alat ukur yang akan digunakan oleh DPR RI untuk menentukan dampak suatu substansi perjanjian internasional tertentu merupakan perjanjian yang termasuk ke dalam kategori pasal 11 ayat (2) UUD 1945 atau tidak. Hal ini untuk melengkapi analisis masalah sebagai dasar dalam penentuan posisi perundingan pemerintah. Pendapat hukum Dr.Ahmad Redi menjelaskan bahwa penafsiran terhadap sebuah perjanjian internasional sesuai Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 sudah tentu harus mengacu pada Konstitusi itu sendiri. Ada 2 hal yang bisa menjadi acuan materi suatu perjanjian internasional sesuai Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, yaitu: Pertama, Hal yang diatur dalam pasal 11 UUD 1945; Kedua, substansi UUD 1945 selain pasal 11, seperti Pasal 18 (pemerintahan daerah), pasal 23 (keuangan negara), pasal 24 (kekuasaan kehakiman), Pasal 25 (wilayah negara), pasal 26 warganegara dan penduduk, Pasal 28A-28J (HAM), pasal 30 (pertahanan dan keamanan negara), Pasal 31 (pendidikan dan kebudayaan), Pasal 33 dan 34 (perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat).
- Perjanjian internasional yang penting harus dengan persetujuan DPR tidak dapat dibatasi, tetapi harus dinilai secara kasuistis. Tentu, dikabulkannya permohonan pemohon terhadap Pasal 10 UU No.24/2000 telah menghadirkan norma baru dalam hukum nasional, yakni persetujuan DPR RI terhadap perjanjian internasional tidak dapat dibatasi hanya terkait perjanjian internasional yang diatur dalam Pasal 10 UU aquo. Tetapi, DPR RI harus menilai terlebih dahulu dampak sebuah perjanjian internasional sesuai dengan kategori yang terdapat dalam pasal 11 ayat (2) UUD 1945, yakni menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang.
Implikasi Hukumnya:
- Dalam hal memutuskan sebuah perjanjian internasional memerlukan atau tidak memerlukan persetujuan DPR RI, maka DPR RI harus melakukan penilaian analisis dampak secara komprehensive terhadap sebuah perjanjian internasional. Hal ini bertujuan untuk menilai sebuah perjanjian internasional berpotensi menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang sesuai dengan kriteria dalam pasal 11 ayat (2) UUD RI 1945. Secara tidak langsung, hasil analisis dampak ini juga dapat menjadi bahan pertimbangan DPR RI untuk memberikan persetujuan atau tidak terhadap ratifikasi perjanjian internasional.
- Kehadiran norma hukum baru ini harus menjadi dasar hukum untuk mengembangkan ketentuan baru di dalam peraturan perundang-undangan nasional tentang mekanisme penilaian dampak yang bersifat mandatory. Hal ini sesuai dengan pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan ini harus dimasukkan dalam proses revisi UU No.24 / 2000 tentang perjanjian internasional. Ada dua hal yang dapat menjadi referensi praktek dalam melakukan sebuah penilaian dampak: pertama, merujuk pada praktek yang telah dilakukan dibeberapa negara dengan melakukan penilaian dampak tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga penilaian dampak sosial, lingkungan, dan hak asasi manusia, serta sustainability impact assessment. Kedua, praktek judicial preview oleh Mahkamah Konstitusi pada proses ratifikasi perjanjian internasional (atau DPR baru mengesahkan perjanjian internasional setelah DPR memperhatikan pertimbangan MK). Ide ini pernah dilontarkan oleh ahli Fajrul Falakh dalam Judicial Review terhadap UU No.38 tahun 2008 tentang Pengesahan ASEAN Charter di Mahkamah Konsitusi. Tapi tentu saja, ada konsekuensi perubahan struktur dan proses ratifikasi serta amandemen Konstitusi. Dalam melakukan proses penilaian dampak, DPR RI harus membuka informasi atau teks dan melibatkan rakyat secara luas dalam proses konsultasinya, guna mendapatkan pandangan rakyat mengenai dampak yang akan ditimbulkan dari perjanjian tersebut sebagaimana disebutkan dalam pasal 11 ayat (2) UUD 1945.
- Pasal 84 ayat (4) UU No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan telah bertentangan dengan Putusan MK No.13/PUU-XVI/2018. Putusan MK menegaskan bahwa Pemerintah tidak dapat mengambil keputusan secara sepihak terhadap ratifikasi sebuah perjanjian internasional yang terbukti menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang- undang. Hal ini karena perjanjian internasional semacam itu mengharuskan adanya persetujuan DPR. Oleh karena itu, tindakan pemerintah yang memutuskan secara sepihak mengenai perlu atau tidaknya persetujuan DPR terhadap perjanjian internasional telah bertentangan dengan Konsitusi, untuk itu keputusannya batal demi hukum.
Rekomendasi
Dalam rangka menjalankan Putusan MK No. 13/ PUU-XVI/2018 secara konsisten, maka dari analisis diatas, berikut ini adalah rekomendasi langkah hukum yang harus segera dilakukan oleh DPR RI dan Pemerintah, yaitu:
Pertama, merumuskan mekanisme konsultasi yang demokratis yang melibatkan partisipasi publik lebih luas dan transparan dalam menentukan sebuah perjanjian internasional yang memiliki kriteria sesuai Pasal 11 ayat (2) UUD 1945.
Kedua, menyusun indikator perjanjian internasional yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat, yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau pembentukan atau perubahan undang-undang dengan melibatkan masyarakat/partisipasi publik.
Ketiga, wajib melakukan penilaian dampak secara komprehensive dan merumuskan aturan hukum mengenai mekanisme penilaian dampak komprehensive yang bersifat mandatory ke dalam peraturan perundang-undangan nasional.
Keempat, pelaksanaan pasal 84 ayat (4) UU No.7/2014 tentang Perdagangan bertentangan dengan Konstitusi, oleh karena itu harus tunduk pada putusan MK No.13/PUU-XVI/2018.
Kelima, segera melakukan proses peninjauan ulang (review) terhadap seluruh perjanjian internasional, khususnya terhadap perjanjian perdagangan, investasi, dan utang luar negeri, untuk memenuhi unsur keadilan sosial dan selaras dengan amanat Konstitusi.
Keenam, melakukan revisi terhadap Undang- undang tentang Perjanjian Internasional dengan mengacu pada putusan MK yang telah melahirkan norma baru atas perjanjian internasional.
Ketujuh, DPR dan Pemerintah wajib melibatkan partisipasi publik dan membuka transparansi informasi dalam membuat perjanjian internasional, khususnya dalam forum konsultasi dan pada saat melakukan penilaian dampak.
Delapan, membahas kemungkinan dilakukannya judicial preview oleh Mahkamah Konstitusi pada proses ratifikasi perjanjian internasional guna memastikan bahwa perjanjian internasional tidak bertentangan dengan Konstitusi.
****
Tim Advokasi Keadilan Ekonomi:
Indonesian Human Rights Committtee For Social Justice (IHCS), Indonesia Global Justice (IGJ), Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Serikat Petani Indonesia (SPI), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sawit Watch, Aliansi Petani Indonesia (API), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Farmers Inititiatives For Ecological Livehood and Democracy (FIELD), Perkumpulan Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Solidaritas Perempuan.
Koordinator Tim Advokasi:
David Sitorus, SH
Rachmi Hertanti, SH., MH.