
Jakarta, 15 April 2025 – Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi (Koalisi MKE) diundang bertemu delegasi Komite Perdagangan Internasional Parlemen Uni Eropa dalam kunjungan mereka ke Indonesia pada Hari Selasa (15/4) di Kedutaan Besar Uni Eropa di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, Koalisi MKE menyampaikan penolakan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Uni Eropa (I-EU CEPA). Koalisi menyampaikan bahwa proses perundingan perjanjian ini dilakukan secara tidak transparan dan hanya akan merugikan masyarakat Indonesia, terutama apabila proposal-proposal dari Uni Eropa diakomodir di dalam perundingan.
Koalisi MKE sangat menekankan bahwa Perjanjian I-EU CEPA akan semakin memicu eksploitasi dan ekstraksi sumber daya alam secara berlebihan karena mendorong liberalisasi dan mempersempit ruang kebijakan negara seperti penghapusan larangan ekspor bahan mineral mentah. Koalisi MKE juga mengkritik Perjanjian I-EU CEPA yang hanya berpihak pada investor melalui berbagai mekanisme perlindungan tetapi abai terhadap masalah lingkungan. Indonesia for Global Justice (IGJ) menyampaikan bahwa Uni Eropa masih berupaya untuk mendorong mekanisme Investor-State Dispute Settlement melalui rebranding menjadi International Court System (ICS). “Kedua hal ini tidak memiliki perbedaan dan sama-sama akan merugikan dan mengancam kedaulatan negara,” ungkap Audina Permana, dari IGJ.
Sektor lain yang jadi sorotan koalisi adalah bab Perlindungan Kekayaan Intelektual (KI). Indonesia AIDS Coalition (IAC) menyampaikan bahwa bab Perlindungan KI hanya akan semakin mempersulit akses ke obat-obatan yang terjangkau di Indonesia karena proposal Uni Eropa menambahkan klausul mengenai perpanjangan masa perlindungan paten, eksklusivitas data dan pasar, serta pembatasan impor paralel. Klausul usulan Uni Eropa ini merupakan elemen-elemen dari TRIPS Plus. “Artinya Perjanjian I-EU CEPA menjadi ancaman serius bagi ketersediaan obat-obat esensial yang terjangkau di Indonesia, juga menghalangi kemunculan dari kompetisi generik,” ungkap Budi Larasati dari IAC.
IGJ juga menyoroti bab Perlindungan KI karena melalui bab ini Uni Eropa meminta Indonesia untuk meratifikasi UPOV 1991 yang merupakan rezim kekayaan intelektual untuk komersialisasi benih. Bab ini akan mempersulit akses petani kecil di Indonesia kepada benih karena melarang petani untuk bertukar, menyimpan, atau bahkan mengembangkan sendiri benih untuk kebutuhan mereka dan harus bergantung pada benih produksi perusahaan. “Indonesia tidak pernah terlibat di dalam UPOV 1991, sehingga Uni Eropa tidak seharusnya memaksakan Indonesia untuk meratifikasi aturan terkait hal tersebut,” ungkap Agung Prakoso dari IGJ.
FIAN Indonesia menegaskan kembali bahwa selama ini, proses negosiasi perjanjian dagang antara Indonesia dengan Uni Eropa selalu tertutup, “Proses negosiasi yang demikian, menjadikan rakyat Indonesia selalu menjadi korban demi memenuhi perdagangan yang mengkomodifikasi pangan, secara khusus: petani, nelayan dan masyarakat pedesaan. Hak-hak petani, nelayan dan masyarakat pedesaan yang sudah ditegaskan dalam Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Rakyat yang Bekerja di Pedesaan (United Nations Declaration on the Rights of Peasant and Other People Working in Rural Areas /UNDROP) juga tidak akan terwujud. Pasalnya, saat ini masif terjadi perampasan tanah, dan alih fungsi lahan untuk kepentingan korporasi besar termasuk program pangan pemerintah seperti food estate yang tidak akan memenuhi hak atas pangan dan gizi rakyat. Jika perjanjian dagang tersebut diratifikasi, akan mengakibatkan pemiskinan masif yang berujung pada kasus malnutrisi (wasting, stunting dan obesitas); serta hilangnya diversitas bahan pangan masyarakat, karena persaingan yang tidak imbang antara produksi dalam negeri, dengan masuknya impor pangan murah (dumping). Menjadikan pangan sebagai objek perdagangan semata, justru memperlebar jarak antara rakyat dan kedaulatan pangan mereka sendiri, sekaligus menggerus martabat serta keberlangsungan hidup produsen pangan skala kecil di Indonesia,” ungkap Marthin Hadiwinata dari FIAN Indonesia.
Adapun, sektor lain yang menjadi perhatian dari Koalisi MKE adalah perdagangan digital, yang mana I-EU CEPA dikhawatirkan akan memberikan keleluasaan bagi liberalisasi pasar dan lebih memberikan keuntungan kepada perusahaan besar teknologi seperti disampaikan wakil dari Hints (Sahita Institute).
Anggota Koalisi MKE yang hadir dalam pertemuan adalah FIAN Indonesia, Indonesia for Global Justice (IGJ), Indonesia AIDS Coalition (IAC), Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), Sahita Institute (Hints), serta Solidaritas Perempuan. Sementara beberapa anggota Parlemen Uni Eropa yang hadir di antaranya adalah Bernd Lange selaku ketua Komite Perdagangan Internasional Parlemen Eropa.
Narahubung:
Budi Larasati, Indonesia AIDS Coalition (IAC) – blarasati@iac.or.id
Komang Audina, Indonesia for Global Justice (IGJ) –
Olisias Gultom, Sahita Institute sahita.institute@hints.id
Rachmi Hertanti – rachmi.hertanti@gmail.com
Marthin Hadiwinata – marthin.hadiwinata@fian-indonesia..org